Sabtu, 07 April 2012

ALIRAN-ALIRAN DALAM ESTETIKA

ALIRAN-ALIRAN DALAM ESTETIKA

Pendahuluan
Seperti yang sudah diketahui sebelumnya bahwa estetika membahas tentang apa itu keindahan, menyelidiki prinsip dasar seni yaitu, penciptaan seni dan penilaian terhadap suatu karya seni.
Pembahasan tentang seni itu sendiri tidak akan lepas dari apa itu keindahan. Menurut Hegel mengenai keindahan adalah “Beauty is the idea as it shows itself to sense”, yaitu “keindahan adalah idea yang terwujud di dalam indera”. Maka materi seni tak lain adalah idea, sedang bentuknya terdapat dalam gambaran inderawi dan khayalinya.[1]
Menelisik perkembangan estetika sebenarnya dapat dibedakan ke dalam empat kelompok, yaitu estetika klasik, estetika abad pertengahan, estetika pra-modern dan estetika modern. Mengenai estetika klasik yang dimulai oleh Plato kemudian Aristoteles serta estetika abad pertengahan tidak akan kami bahas di sini. Kami akan fokus pada pembahasan aliran-aliran estetika pada abad pra-modern dan modern.

v  Estetika Pra-Modern
Anthony Ashley Cooper mengembangkan metafisika neoplatoistik yang memimpikan satu dunia yang harmonis yang diciptakan oleh Tuhan. Aspek-aspek dari alam yang harmonis pada manusia ini termasuk pengertian moral yang menilai aksi-aksi manusia, dan satu pengertian tentang keindahan yang menilai dan menghargai seni dan alam.
David Hume lebih banyak menerima pendapat Anthony tetapi ia mempertahankan bahwa keindahan bukan suatu kualita yang objektif dari objek. Yang dikatakan baik atau bagus ditentukan oleh konstitusi utama dari sifat dan keadaan manusia, termasuk adat dan kesenangan pribadi manusia.
Immanuel Kant seperti Hume, bertahan bahwa keindahan bukanlah kualita objektif dari objek. Sebuah benda dikatakan indah bila bentuknya menyebabkan saling mempengaruhi secara harmonis, di antara imajinasi dan pengertian (pikiran).
Dari sini sekitar abad ke-19 muncul beberapa aliran diantaranya impresionisme dan ekspresionisme. Yang mana pada dahulu kala para seniman sendiri ikut mengambil bagian dalam merumuskan pendangan-pandangan mereka tentang ciri khas dan peranan kesepian dalam perkembangan manusia maupun masyarakat.
1.             Impressionisme dan Ekspresionisme
Impresionisme adalah suatu gerakan seni dari abad 19 yang dimulai dari Paris pada tahun 1860an. Nama ini awalnya dikutip dari lukisan Claude Monet, "Impression, Sunrise" ("Impression, soleil levant"). Sebenarnya kata “impresionisme” pada permulaan dipakai sebagai suatu sindiran atau penghinaan terhadap mereka yang kurang patuh pada peraturan-peraturan dan patokan-patokan yang dianggap perlu diindahkan agar suatu karya seni dapat terlaksana.[2] Pokoknya pelukis ingin mengabadikan “kesan”nya (“impression”) dan memperlihatkannya kepada si penonton lukisannya.
Karakteristik utama lukisan impresionisme adalah kuatnya goresan kuas, warna-warna cerah (bahkan banyak sekali pelukis impresionis yang mengharamkan warna hitam karena dianggap bukan bagian dari cahaya), komposisi terbuka, penekanan pada kualitas pencahayaan, subjek-subjek lukisan yang tidak terlalu menonjol, dan sudut pandang yang tidak biasa.
Pengarang impresionistis melahirkan kembali kesan atas sesuatu yang dilihatnya. Kesan itu biasanya kesan sepintas lalu. Pengarang takkan melukiskannya sampai mendetail, sampai kepada yang sekecil-kecilnya seperti dalam aliran realisme atau naturalisme, supaya ketegasan, spontanitas penglihatan, dan perasaan mula pertama tetap tak hilang. Lukisan seperti itulah lukisan beraliran impresionisme.
Ekspresionisme adalah suatu aliran dalam seni rupa yang melukiskan suasana kesedihan, kekerasan, kebahagiaan, atau keceriaan dalam ungkapan rupa yang emosional dan ekspresif. Salah seorang pelukis yang beraliran ekspresionisme adalah Vincent van Gogh (1853-1890). Lukisan lukisannya penuh dengan ekpresi gejolak jiwa yang diakibatkan oleh penderitaan dan kegagalan dalam hidup[3]
Aliran ekspresionisme lebih terbatas pada beberapa tokoh saja. Karya mereka memang tidak terlepas sama sekali dari apa yang mereka lihat dan apa yang kiranya telah menjadi alasan mengapa mau melukis. Hasrat untuk mengucapkan dan seakan-akan mewujudkan apa yang ada dalam pengalaman dan hati mereka (“exspression”) menandai dan mewarnai karya seni yang bersangkutan.

v  Estetika Modern
Dalam pembicaraan sebelumnya kita sudah menyinggung beberapa aliran yang berkembang sejak abad ke-19. terutama impresionisme dan ekspresionisme yang masih bertahan agak lama, dan juga mengakibatkan munculnya beberapa aliran lain.
1.             Simbolisme dan Jugendstil
Simbolisme merupakan kelanjutan impresionisme dan ekspresionisme. Bila ekspresionisme masih bertitik pangkal pada apa yang telah dan sedang diamati seniman agar unsur-unsur  tertentu yang ia alami diungkapkannya dengan tekanan khusus. Tetapi dalam hasil karya para seniman yang digolongkan sebagai penganut simbolisme sumbangan seniman sendiri menjadi sedemikian besar sehingga “obyek” lukisan atau lain karya seninya hanya samar-samar saja memperlihatkan “obyek” luar yang “mau digambarkan”. “obyek luar” itu hanya menjadi alasan saja untuk menggambarkan inti ilham seniman; dan hasil karyanya menjadi lambang (“symbol”) dari apa yang ada dalam bayangannya.
Agak dekat dengan simbolisme muncul apa yang disebut Jugendstil. Namanya berasal dari suatu majalah Jerman yang berjudul “Jugend” (=kaum muda). Meneruskan unsur-unsur dekorasi yang terdapat dalam hasil karya simbolisme. Menekankan pentingnya garis-garis dalam lukisan dan gambaran, sedapat mungkin berlingkaran dan bergelombang ibarat rambut panjang. Itulah aliran “Jugendstil” dengan garis-garis dekoratif berlingkaran dan bergelombang simbolis.
2.             Fauvisme dan Surealisme
Aliran yang dekat dengan ekspresionisme yang disebut dengan "fauvisme" (karena oleh seorang kritikus seniman bersangkutan dianggap sebagai "fauve" = binatang liar/buas ), Aliran fauvisme mempunyai unsur yang dulu sudah muncul dalam sejarah kesenian, yaitu bahwa  "bahan luar" itu diubah (harus dikatakan : berubah) dalam penggambarannya sambil mengungkapkan sesuatu. Aliran ini menghargai ekspresi dalam menangkap suasana yang hendak dilukis. Tidak seperti karya impresionisme, pelukis fauvis berpendapat bahwa harmoni warna yang tidak terpaut dengan kenyataan di alam justru akan lebih memperlihatkan hubungan pribadi seniman dengan alam tersebut.[4]
Segala hal yang berhubungan dengan pengamatan secara objektif dan realistis, seperti yang terjadi dalam lukisan naturalis, digantikan oleh pemahaman secara emosional dan imajinatif. Sebagai hasilnya warna dan konsep ruang akan terasa bernuansa puitis. Warna-warna yang dipakai jelas tidak lagi disesuaikan dengan warna di lapangan, tetapi mengikuti keinginan pribadi pelukis.
Pelukis fauvis menyerukan pemberontakan terhadap kemapanan seni lukis yang telah lama terbantu oleh objektivitas ilmu pengetahuan seperti yang terjadi dalam aliran impresionisme, meskipun ilmu-ilmu dari pelukis terdahulu yang mereka tentang tetap dipakai sebagai dasar dalam melukis. Hal ini terutama terjadi pada masa awal populernya aliran ini pada periode 1904 hingga 1907.
Selangkah lebih maju dilakukan oleh aliran surealisme, yang titik pangkal dan "bahan"nya ialah dunia bayangan dan mimpi. Tentu saja ada hubungan dengan psikoanalisis Sigmound Freud dan minatnya akan yang bawah sadar. Dapat dikatakan bahwa aliran ini pada permulaan masa modern sudah muncul dalam karya Hieronymus Bosc (1450-1516) dengan dunia mimi yang membingungkan orang. Surealisme berkembang antara dua perang dunia, yang memberikan kesan bahwa tidak ada lagi pegangan bagi manusia, semua yang yang ada dan dilukiskan sehingga menimbulkan anggapan bahwa tidak ada sesuatu yang masuk akal. Pelukis aliran ini berusaha untuk mengabaikan bentuk secara keseluruhan kemudian mengolah setiap bagian tertentu dari objek untuk menghasilkan sensasi tertentu yang bisa dirasakan manusia tanpa harus mengerti bentuk aslinya.
3.             Kubisme
Kubisme adalah sebuah gerakan modern seni rupa pada awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Picasso (1881-1973) dan George Braque (1882-1963). Aliran ini bermula dari imresionisme yang berupaya mencari dan mengungkapkan dalam karya seni sejumlah bentuk-bentuk dasar kenyataan yang diamati dan dialami manusia sesuai cita-cita imresionisme. Tetapi dengan tambahan susunan (contruction) baru dengan memakai bahan dasar tadi itulah merupakan unsur ekspresionisme yang ikut mempengaruhi kubisme.[5]
Kubisme muncul setelah Picasso dan Braque menggali sekaligus terpengaruh bentuk kesenian primitif, seperti patung suku bangsa Liberia, ukiran timbul (basrelief) bangsa Mesir, dan topeng-topeng suku Afrika. Juga pengaruh lukisan Paul Cezanne, terutama karya still life dan pemandangan, yang mengenalkan bentuk geometri baru dengan mematahkan perspektif zaman Renaisans. Ini membekas pada keduanya sehingga meneteskan aliran baru.
Istilah "Kubis" itu sendiri, tercetus berkat pengamatan beberapa kritikus. Louis Vauxelles (kritikus Prancis) setelah melihat sebuah karya Braque di Salon des Independants, berkomenmtar bahwa karya Braque sebagai reduces everything to little cubes (menempatkan segala sesuatunya pada bentuk kubus-kubus kecil. Gil Blas menyebutkan lukisan Braque sebagai bizzarries cubiques (kubus ajaib). Sementara itu, Henri Matisse menyebutnya sebagai susunan petits cubes (kubus kecil). Maka untuk selanjutnya dipakai istilah Kubisme untuk memberi ciri dari aliran seperti karya-karya tersebut.
Perkembangan awal
Dalam tahap perkembangan awal, Kubisme mengalami fase Analitis yang dilanjutkan pada fase Sintetis. Pada 1908-1909 Kubisme segera mengarah lebih kompleks dalam corak yang kemudian lebih sistematis berkisar antara tahun 1910-1912. Fase awal ini sering diberi istilah Kubisme Analitis karena objek lukisan harus dianalisis. Semua elemen lukisan harus dipecah-pecah terdiri atas fase-fasenya atau dalam bentuk kubus.
Objek lukisan kadang-kadang setengah tampak digambar dari depan persis, sedangkan setengahnya lagi dilihat dari belakang atau samping. Wajah manusia atau kepala binatang yang diekspos sedemikian rupa, sepintas terlihat dari samping dengan mata yang seharusnya tampak dari depan.
Pada fase Kubisme Analitis ini, para perupa sebenarnya telah membuat pernyataan dimensi keempat dalam lukisan, yaitu ruang dan waktu karena pola perspektif lama telah ditinggalkan.
Bila pada periode analitis Braque maupun Picasso masih terbelenggu dalam kreativitas yang terbatas, berbeda pada fase Kubisme Sintetis. Kaum Kubis tidak lagi terpaku pada tiga warna pokok dalam goresan-goresannya. Tema karya-karya mereka pun lebih variatif. Dengan keberanian meninggalkan sudut pandang yang menjadi ciri khasnya untuk beranjak ke tingkat inovatif berikutnya.
Perkembangan karya kaum Kubis selanjutnya adalah dengan perhatian mereka terhadap realitas. Dengan memasukkan guntingan-guntingan kata atau kalimat yang diambil dari surat kabar kemudian direkatkan pada kanvas sehingga membentuk satu komposisi geometris. Eksperimen tempelan seperti ini lazim disebut teknik kolase.
4.              Seni Abstrak
Seni ini menampilkan unsur-unsur seni rupa yang disusun tidak terbatas pada bentuk-bentuk yang ada di alam. Garis, bentuk, dan warna ditampilkan tanpa mengindahkan bentuk asli di alam. Seni Abstrak ini pada dasarnya berusaha memurnikan karya seni, tanpa terikat dengan wujud di alam. Selain itu hasil karya seni hanya dapat berarti sebagai karya seni bagi orang yang melihat, mendengar atau membacanya sesuai dengan kemauan dan selera setiap orang.
Dalam aliran ini terkenal dua pelukis Rusia,yang pertama adalah Wassili Kandinski ( 1886-1945) yang bermaksud menggambarkan apa yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kenyataan luar, tetapi karyanya dengan segala kekuatan ekspresinya masih memngingatkan penontonnya kepada bentuk-bentuk purba dari alam semesta, organisme-organisme paling sederhana (amoeba, radiolira,kuda laut dsb). Sedangkan Kasimir Malewijts (1878-1935) lebih konsekuen lagi dan menggambarkan macam-macam segi-empat, kadang-kadang segitiga, lingkaran dan trapesium, semuanya berwarna-warni, sekali-kali dengan adanya sindiran akan adanya sosok manusia.[6]
Seorang pelukis Belanda Piet Mondarin (1883-1944) termasuk aliran yang sama, sampai pada suatu gaya lukis yang diberi nama "neo-plastisisme". Lukisan terdiri atas sejumlah garis datar ataupun garis tegak lurus. Beberapa petak dengan demikian muncul, diisi dengan warna yang direncanakan sedemikian hingga sehingga keseluruhannya menjadi seimbang dan harmonis.



DAFTAR PUSTAKA
Kartika, Dharsono Sony dan Nanang Ganda Prawira. 2004.  Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains
Sutrisno, Mudji dan Christ Verhaak. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius
www.google.co.id



[1] Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika, (Bandung: Rekayasa Sains, 2004), cet. I, hlm. 65
[2] Mudji Sutrisno dan Christ Verhaak, Estetika Filsafat Keindahan, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 51-52
[3] www.google.co.id/modul-modul pengertian seni rupa
[4] Mudji Sutrisno dan Christ Verhaak, Ibid., hlm 56
[5]  Ibid. Hal. 58
[6]  Ibid. Hal. 60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar