Sabtu, 07 April 2012

JARINGAN FALSAFAH ISLAM ANTARA TIMUR DAN BARAT

JARINGAN FALSAFAH ISLAM ANTARA TIMUR DAN BARAT

Sebelum penulis memaparkan jaringan atau hubungan falsafah Islam antara Timur dan Barat, penulis akan sedikit flash Beck menjelaskan history adanya dua kubu tersebut (Masyriqi dan Maghribi). Falsafah Islam di bagian Timur Dunia Islam (Masyriqi) berbeda dengan falsafah Islam di Maghribi (bagian Barat Dunia Islam). Di antara para failasuf Islam di kedua kawasan tersebut terjadi perselisihan pendapat tentang pelbagai pokok pengertian. Di Timur sedikitnya terdapat tiga orang failasuf terkemuka, seperti al-Kindî, al-Fârâbî dan Ibn Sînâ. Di Barat juga sedikitnya terdapat tiga orang failasuf kenamaan, seperti Ibn Bâjjah, Ibn Thufail dan Ibn Rusyd.
Adalah wajar jika falsafah Islam muncul lebih dulu di Timur sebelum di bagian Barat. Sebagai akibat adanya peradaban yang berpusat di Athena dan Iskandariyah. Setelah Islam datang, orang Arab menguasai daerah Persia, Syam dan Mesir. Kemudian pusat kekhalifahan pindah dari Hijaz (Madinah) ke Damaskus (Syam), sebuah kota yang dari segi politik menjadi pusat kekuasaan orang-orang Bani Umayyah. Setelah itu datanglah para penguasa Abbas yang menjadikan kota Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam. Sejak saat itu, Baghdad menjadi pusat kekhalifahan di samping menjadi pusat kegiatan ilmu, falsafah dan peradaban.
Di dalam suasana kehidupan politik dan pemikiran yang sedang berkembang pesat, muncullah failasuf Arab atau failasuf Islam yaitu Abû Yusûf Ya’qûb ibn Ishâq al-Kindî, disusul dengan munculnya failasuf dari Turki yaitu Abû Nashr al-Fârâbî dan failasuf dari Persia yaitu Ibn Sînâ.
Sedangkan munculnya falsafah Islam di kawasan Maghribi terlambat dua abad lamanya dibanding dengan kehadirannya di kawasan Masyriqi (dunia Islam bagian Timur). Metoda yang digunakan dalam menerjemahkan buku-buku hampir sama. Di kawasan Masyriqi gerakan penerjemahan dimulai dari buku-buku ilmu pengetahuan, kemudian baru buku-buku falsafah. Demikian pula di kawasan Maghribi, gerakan menuntut ilmu muncul lebih dulu, setelah itu baru falsafah.
Dalam suasana perkembangan ilmu seperti tersebut, muncullah failasuf dari Andalusia bernama Ibn Bâjjah, setelah itu disusul failasuf dari Cordova, Andalusia bernama Ibn Thufail dan Ibn Rusyd. Mereka adalah sebagian failasuf terkemuka yang meneruskan perjuangan falsafah Islam di kawasan Barat (Maghribi).
Falsafah Islam antara Timur dan Barat seringkali terjadi pergolakan pemikiran di antara keduanya. Itu adalah hal yang wajar, karena selain kebudayaan yang berbeda, mereka juga hidup pada masa yang berbeda pula. Otomatis itu memengaruhi pemikiran antara failasuf masyriqi dan maghribi. Perbedaan pendapat antara dua kubu tersebut misalnya tentang adanya Tuhan. Para failasuf (falâsifah) Arab mewarisi dua macam teori khusus mengenai Tuhan dari para failasuf Yunani. Teori pertama dari Aristoteles, yang menyebut Tuhan sebagai “penggerak yang tidak bergerak”, yakni sebab pertama bagi gerak seluruh alam wujud. Teori yang kedua adalah teori Plato dan Neo-Platonisme (teori Plotinus), yaitu teori yang memandang Allah “esa”, dan dari Yang Esa itu melimpahlah akal pertama kemudian jiwa. Berdasarkan kedua teori diatas mengenai Tuhan, timbul perbedaan pendapat dari para failasuf. Al- Kindî bersandar pada teori Islam mengenai keesaan Tuhan, mengenai penciptaan dari ketiadaan. Lain halnya pendapat al-Fârâbî yang memertemukan falsafah Aristoteles dengan falsafah Neo-Platonisme, bahwa Allah adalah “sumber pertama” bagi seluruh alam wujud dan “sebab pertama” bagi eksistensinya. Berbeda dengan failasuf Maghribi seperti Ibn Rusyd yang menempuh metoda lain dalam menetapkan pembuktian tentang adanya Tuhan, karena ia sangat setia dan jujur terhadap ajaran Aristoteles. Pendapat Ibn Rusyd mengenai Tuhan, bahwa Tuhan adalah penggerak yang tidak bergerak. Dia adalah maha penggerak yang tidak ada penggerak selain Dia. Pada dasarnya pendapat Ibn Rusyd sejalan dengan syari‘at, yaitu bahwa Tuhan adalah pencipta.
Hubungan (jaringan) falsafah Islam antara Timur dan Barat sangatlah erat meskipun sering kali terjadi benturan pendapat. Dijelaskan bahwa, tradisi falsafah Islam Barat (Maghribi) bergantung pada tulisan-tulisan para tokoh Islam Timur (Masyriqi): al-Fârâbî dan Ibn Sînâ (Avicenna). Bahkan Ibn Thufail, pendukung utama falsafah Andalusia, menulis: “sebelum penyebaran filsafat dan logika formal ke Barat, semua orang Andalusia pribumi yang berkemampuan mencurahkan hidupnya pada matematika. Mereka dapat meraih hasil tinggi dalam bidang itu, tetapi tidak bisa melakukan lebih daripada itu. Generasi berikutnya melampaui mereka dalam bidang itu, tetapi mereka kurang begitu mengenal logika. Akan tetapi, meskipun mereka belajar logika sekeras mungkin, mereka tidak juga menemukan di dalamnya jalan kepada pemenuhan kebutuhan ini.”[1]
Falsafah Islam antara masyriqi dan maghribi sebenarnya saling melengkapi, meskipun sebelumnya penulis katakan ada pendapat yang berbeda. Mereka sama-sama satu tujuan, yaitu menghendaki kebenaran. Kebenaran agama dan falsafah tidak jauh beda, hanya jalan untuk mendapatkannya yang berbeda. Agama menempuh jalan syari‘at, sedangkan falsafah menempuh jalan metoda pembuktian. Mereka juga memiliki rujukan yang hampir sama antara keduanya yaitu Aristoteles dan Plato atau Neo-Platonisme yang sedikit banyak telah meresap ke pemikiran mereka (Masyriqi dan Maghribi).
Falsafah Islam antara Masyriqi dan Maghribi itu berbeda, tetapi itu tidak berarti bahwa mereka berlainan dan berlawanan. Kalau ada perbedaan, itu hanya mengenai cara dan jalan yang ditempuhnya. Cara yang ditempuh para ahli fikir berbeda dengan para ahli tasauf. Mengingat bahwa hakikat kebenaran itu adalah mengenal Tuhan, maka orang boleh saja menempuh salah satu di antara dua cara yang telah disebutkan. Orang boleh menempuh jalan semantik sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Sînâ dalam menetapkan kepastian adanya Tuhan (Wajibul Wujûd) dan boleh pula menempuh cara menggunakan tanggap rasa sebagaimana yang ditempuh oleh tasauf. Ibn Sînâ mengatakan bahwa “apabila kemauan dan latihan rohani telah sampai batas yang memungkinkan orang mengetahui cahaya kebenaran, ia akan merasakan kelezatan sedemikian rupa seolah-olah melihat pancaran kilat datang kepadanya kemudian memudar kembali”. Ibn Thufail menanggapi pernyataan Ibn Sînâ itu dalam bukunya ­Hayy ibn Yaqzhân bahwa keadaan yang disebut Ibn Sînâ itu tiada lain maksudnya pastilah tanggap rasa, yang tidak dapat dicapai dengan penglihatan teoritis yang didasarkan pada ukuran-ukuran tertentu. Pada masa itu para failasuf Islam di kawasan Maghribi (bagian Barat Dunia Islam) lebih condong pada pandangan yang rasional daripada pengetahuan melalui tanggap rasa.
Itulah kisah falsafah Islam antara Masyriqi dan Maghribi, yaitu suatu falsafah yang dimulai dengan mendukung ilmu pengetahuan, mengakui peranan akal dan memersoalkan bagaimana manusia menafsirkan alam wujud beserta segala rahasianya. Setelah berhasil menemukan hukum-hukumnya lalu memersoalkan lagi bagaimana cara manusia menerapkannya dalam kehidupan untuk mewujudkan kebahagiaan dan keindahan yang didambakan.
Menurut Dr. Ahmad Fuad Al-Ahwani dalam bukunya Filsafat Islam mengatakan bahwa kisah falsafah Islam berakhir dengan mengasingkan ilmu pengetahuan dan cukup puas dengan menerima apa yang diberikan oleh para ahli pikir Islam yang telah menggoreskan ketetapan dan kesimpulan pemikirannya dalam lembaran buku-buku. Mereka tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk berpikir merdeka dan mandiri mengikuti perkembangan zaman yang senantiasa meningkat. Akhirnya tahap demi tahap layar turun menutupi pentas sejarah kehidupan falsafah. Lambat laun umat terperosok ke dalam kefanatikan buta, dan kebodohan pun merajalela. Padahal kalau menilik pernyataan di awal bahwa dalam memelajari dan menerjemahkan buku-buku, para failasuf memprioritaskan ilmu pengetahuan dahulu baru falsafah, karena hampir semua failasuf menguasai berbagai ilmu pengetahun mulai dari kedokteran, matematika, kimia, dan sebagainya. Jadi, sangat sayang sekali jika dewasa ini ilmu pengetahuan diasingkan dalam memelajari falsafah.


DAFTAR PUSTAKA
Nasr, Seyeed Hossein dan Oliver Leaman. 2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Bandung: Mizan
Al-Ahwani, Ahmad Fuad. 1997. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus



[1] Lihat: Ibn Thufail, Hayy ibn Yaqzhân, penerj. L.E. Goodman (New York, 1972; c.u. Los Angeles, 1990): hlm. 99

FALSAFAH ISLAM DI INDONESIA

FALSAFAH ISLAM DI INDONESIA


Dalam sejarah Indonesia tidak diketahui secara pasti kapan masuknya Islam ke Indonesia, akan tetapi sudah terbukti bahwasanya pada abad ke-7 H./ke-13 M. sudah ada kehadiran umat Islam secara nyata di Sumatera Utara. Tidak bisa dipungkiri bahwasanya selain agama Islam-nya secara an sich yang masuk ke Indonesia, maka secara tidak langsung juga ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin-nya pun masuk dan bercampur dengan kebudayaan Indonesia.
Seiring berkembangnya peradaban, Islam bukan hanya dimaknai sebagai sebuah agama saja, tetapi lebih dikembangkan kedalam bentuk spiritualitas. Maka, muncullah para pemikir Islam dan menyebarkan ajaran-ajaran falsafah di Indonesia. Ketika Islam sudah menguasai dan meluas ke beberapa daerah yang diantaranya sudah kental dengan tradisi falsafah dan Hellenisme, maka secara tidak langsung adanya pertukaran budaya dan ilmu pengetahuan antara satu dengan yang lainnya. Dan muncullah dinamika kehidupan pada saat itu yang tidak terelakkan lagi.
Dinamika atau perubahan ini merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa kita bantah dan telah menjadi sifat dasar dari segala yang ada di muka bumi, termasuk manusia dan lembaga-lembaga yang mereka bangun. Semua lembaga, baik keagamaan, negara, maupun kemasyarakatan, tidak ada yang luput dari pengaruh dinamika kehidupan ini. Bahkan, kelestarian lembaga-lembaga tersebut sedikit banyaknya tergantung dan dipengaruhi oleh sejauh mana mereka dapat menyesuaikan diri dengan irama perubahan tersebut.[1]
Hal itulah yang menjadi dasar terhambatnya penyebaran falsafah di Indonesia. Karena, masyarakat Indonesia sampai saat inipun masih berpegang pada ajaran tradisi dan budaya seperti nenek moyang mereka. Sebenarnya masyarakat Indonesia masih sulit untuk menerima ajaran-ajaran falsafah. Apalagi masyarakat Indonesia mayoritas berpegang pada madhab syafi’i yang mana madhab ini bersikeras menolak ajaran falsafah.
Memang dalam menyebarkan ajaran falsafah bukan tanpa adanya kendala, melainkan lebih banyak kendalanya dibandingkan dengan kesuksesan yang diraih selama ini. Ditambah lagi dengan adanya orang Islam yang berpikiran ortodoks yang tidak menyetujui dan melarang falsafah dalam Islam. diantaranya adalah Ibn Taymiyyah, imam syafi’i dan para ulama’ yang tidak setuju dengan falsafah dan menganggap bahwa falsafah adalah ilmu orang-orang kafir apalagi berasal dari orang Yunani yang menyembah berhala (pagan). Dan sejak arus pertama falsafah Helenis membanjiri literalisme keyakinan kaum muslim, kalangan Islam “ortodoks” tak henti-hentinya menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap kemampuan falsafah dengan mengganggu para pelakunya. Jeleknya falsafah, menurut mereka, menciptakan keragu-raguan dan kebimbangan yang tidak perlu, dan (kalaupun ada) bagusnya, paling banter hanya menghasilkan dugaan dan kebingungan.[2]
Kita tahu bahwa, setelah Al-Ghazâlî mendalami ilmu falsafah dan telah menulis buku sebagai kesimpulan tentang kajiannya terhadap ajaran ilmu falsafah, yang terkenal adalah bukunya Tahâfuth Al-Falâsifah. Buku tersebut memang ditujukan untuk membongkar dan serangan terhadap paham falsafah dan membuktikan kekeliruan padanya dari ajaran agama, khususnya falsafah Al-Fârâbi dan Ibnu Sînâ. Dalam kesimpulannya Al-Ghazâlî menetapkan tiga masalah yang dianggap telah menyeleweng dan itu dianggap kafir. Sehingga dari sini ia mengaggap bahwa falsafah hanya akan menjadikan seseorang menjadi kafir. Dan ia juga telah mengkafirkan para failasûf.
Polarisasi dan kesimpulan ini mampu mempengaruhi pemahaman umat sehingga menjadi sanggahan dan serangan tajam terhadap falsafah dan failasûf. Hal demikian berimplikasi pada sikap negatif dan penolakan umat Islam pada ilmu ini yang akhirnya menutup pintu kajian terhadap ilmu-ilmu falsafah di dunia Islam.
Dari polemik-polemik itu bukan berarti menyebabkan terhapusnya tradisi falsafah di Indonesia, akan tetapi sebagian Muslim ada yang melestarikan kebudayaan tersebut dan menjadi bagian dari Islam. Sehingga kemudian muncullah para failasûf yang selalu mencari sebuah kebenaran, dengan menggunakan falsafah sebagai alatnya. Akhirnya falsafah di Indonesia sedikit demi sedikit mulai diterima oleh masyarakat secara luas dan mulai banyak diminati terutama dibidang tashawwuf.
Tashawwuf dan falsafah semakin lama menyebar hampir ke seluruh Indonesia. Dan para pemikir tashawwuf mengembangkan metodenya dengan faham wujūdiyyah Ibn ‘Arabî dan menghasilkan syair-syair yang bercorak filosofis. Tetapi seperti yang kita ketahui bahwa falsafah adalah ilmu yang selalu mendapatkan pertentangan dari yang lain. Apalagi dengan faham semacam itu yang dianggap cukup rumit untuk mempelajarinya. Masalah ini ternyata cukup serius yang berakibat semakin menurunnya para pengikut setia tashawwuf dan falsafah.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Itulah kata pepatah yang pantas untuk falsafah di Indonesia. Pasalnya, selain kemerosotan yang terjadi, falsafah juga mengalami kendala yang besar pada waktu itu. Yaitu dengan datangnya para penjajah yang menyuruh para sarjana untuk belajar falsafah di Barat dan para orientalis(sudah tidak murni) yang mencekoki sarjana-sarjana Islam Indonesia dengan pemikiran-pemikiran barat. Hal ini lah yang menjadikan falsafah Islam sudah tidak murni lagi karena sudah tercampur dengan pemikiran dan budaya dari Barat. Yang diserang para orientalis dan pemikiran Barat pada hakikatnya bukanlah Islam itu sendiri-meski kalangan tertentu Muslim menganggpnya demikian-tetapi beberapa aspek sekunder potret diri dan pandangan dunia tradisional Islam. Aspek-aspek inilah yang besar kemungkinannya dikikis “asam modernitas” segera setelah tersingkap kepadanya.[3]
Ditambah lagi dengan adanya doktrin Syafi’iyyah yang melarang umat Islam untuk mempelajari falsafah, karena mereka berkeyakinan bahwa falsafah adalah dari orang kafir dan bisa merusak akidah umat Islam. Ini menjadi pukulan yang berat untuk para failasûf Indonesia yang mana mereka di klaim dan ditentang habis-habisan oleh para Ulama’ Indonesia.
Semakin lama akhirnya ilmu falsafah dan kajian-kajian tentang falsafah mulai ditinggalkan dan tidak begitu diminati oleh masyarakat Indonesia. Minat masyarakat Indonesia terhadap falsafah sangat sedikit, mungkin dikarenakan karena falsafah Islam ini masih sebagai wacana baru dan masih ada ketakutan terhadap yang namanya falsafah. Hal ini bisa juga dibuktikan dengan masih sedikitnya sekolah-sekolah yang mengadakan program studi falsafah, selain itu karya-karya, bahan-bahan dan wacana-wacana tentang kefalsafahanpun masih sedikit. Tidak setiap golongan masyarakat bisa mendengar dan menikmati wacana kefalsafahan apalagi dihubungkan dengan standar pendidikan Indonesia yang masih jauh dari kesmpurnaan.
Menurut Prof. Dr. Mulyadi Kartanegara sedikitnya ada 5 aspek untuk memperkenalkan dan mengembangkan falsafah Islam di Indonesia. Pertama, tentang studi biografis yang mana kita lebih dianjurkan untuk mengenal para tokoh failasûf Islam dari pada failasûf Barat. Kedua, karya-karya gnomologis yaitu karya-karya yang memuat kata mutiara. Karena karya semacam itu masih minim ditemukan di Indonesia. Ketiga, sains Islam yaitu kita harus menguasai sains seperti orang Islam terdahulu sebelum karya sains Islam direbut oleh orang-orang Barat. Keempat, falsafah parenial yaitu falsafah yang menggabungkan dua keilmuan yaitu yang bersifat empiris dan metafisik. Kelima, falsafah pasca ibn Rusyd yang mana banyak yang beranggapan bahwa ibn Rusyd adala failasûf terakhir. Padahal masih banyak failasûf yang muncul pasca ibn Rusyd yang harus kita telusuri dan teliti demi kemajuan
Inilah yang menjadi tugas kita semua untuk bisa membangkitkan falsafah seperti sebelumnya yang pernah berkembang di Indonesia. perhatian terhadap falsafah Islam tidak berhenti dan akan terus  ada sampai Islam tidak ada di dunia ini. Jadi, apakah falsafah Islam itu akan berkembang di Indonesia ataupun tidak, itu tergantung kepada para sarjana Muslim sendiri apakah mereka mau mengembangkan dan meningkatkan wacana keilmuan falsafah Islam ataupun tidak. Karena jika kita lihat sekarang maka minat dari masyarakat terhadap falsafah sudah mulai berkembang dan mendapat respon yang positif terhadap kemajuan dan perkembangan Islam. Terbukti dengan adanya mata pelajaran tentang falsafah di tingkat Universitas, adanya berbagai kajian tentang falsafah, terbitnya buku-buku mengenai falsafah, dan sebagainya. Ini merupakan contoh yang cukup jelas kalau falsafah sudah mulai diterima kembali oleh masyarakat Indonesia walaupun belum semuanya bisa menerima.

DAFTAR PUSTAKA

Amal, Taufik Adnan(pen). 1997. Fundamentalisme Islam dan Modernitas. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Kartanegara, Mulyadi. 2007. Nalar Religius Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia. Jakarta: Penerbit Erlangga
Nasr, Seyeed Hossein dan Oliver Leaman. 2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Bandung: Mizan



[1]Mulyadi Kartanegara, Nalar Religius Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), hlm. 105-106
[2] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2003), terj. Syabir Akhtar, cet. I, hlm. 1513
[3] Prof. William Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), terj. Taufik Adnan Amal, cet. I, hlm. 100 

ALIRAN-ALIRAN DALAM ESTETIKA

ALIRAN-ALIRAN DALAM ESTETIKA

Pendahuluan
Seperti yang sudah diketahui sebelumnya bahwa estetika membahas tentang apa itu keindahan, menyelidiki prinsip dasar seni yaitu, penciptaan seni dan penilaian terhadap suatu karya seni.
Pembahasan tentang seni itu sendiri tidak akan lepas dari apa itu keindahan. Menurut Hegel mengenai keindahan adalah “Beauty is the idea as it shows itself to sense”, yaitu “keindahan adalah idea yang terwujud di dalam indera”. Maka materi seni tak lain adalah idea, sedang bentuknya terdapat dalam gambaran inderawi dan khayalinya.[1]
Menelisik perkembangan estetika sebenarnya dapat dibedakan ke dalam empat kelompok, yaitu estetika klasik, estetika abad pertengahan, estetika pra-modern dan estetika modern. Mengenai estetika klasik yang dimulai oleh Plato kemudian Aristoteles serta estetika abad pertengahan tidak akan kami bahas di sini. Kami akan fokus pada pembahasan aliran-aliran estetika pada abad pra-modern dan modern.

v  Estetika Pra-Modern
Anthony Ashley Cooper mengembangkan metafisika neoplatoistik yang memimpikan satu dunia yang harmonis yang diciptakan oleh Tuhan. Aspek-aspek dari alam yang harmonis pada manusia ini termasuk pengertian moral yang menilai aksi-aksi manusia, dan satu pengertian tentang keindahan yang menilai dan menghargai seni dan alam.
David Hume lebih banyak menerima pendapat Anthony tetapi ia mempertahankan bahwa keindahan bukan suatu kualita yang objektif dari objek. Yang dikatakan baik atau bagus ditentukan oleh konstitusi utama dari sifat dan keadaan manusia, termasuk adat dan kesenangan pribadi manusia.
Immanuel Kant seperti Hume, bertahan bahwa keindahan bukanlah kualita objektif dari objek. Sebuah benda dikatakan indah bila bentuknya menyebabkan saling mempengaruhi secara harmonis, di antara imajinasi dan pengertian (pikiran).
Dari sini sekitar abad ke-19 muncul beberapa aliran diantaranya impresionisme dan ekspresionisme. Yang mana pada dahulu kala para seniman sendiri ikut mengambil bagian dalam merumuskan pendangan-pandangan mereka tentang ciri khas dan peranan kesepian dalam perkembangan manusia maupun masyarakat.
1.             Impressionisme dan Ekspresionisme
Impresionisme adalah suatu gerakan seni dari abad 19 yang dimulai dari Paris pada tahun 1860an. Nama ini awalnya dikutip dari lukisan Claude Monet, "Impression, Sunrise" ("Impression, soleil levant"). Sebenarnya kata “impresionisme” pada permulaan dipakai sebagai suatu sindiran atau penghinaan terhadap mereka yang kurang patuh pada peraturan-peraturan dan patokan-patokan yang dianggap perlu diindahkan agar suatu karya seni dapat terlaksana.[2] Pokoknya pelukis ingin mengabadikan “kesan”nya (“impression”) dan memperlihatkannya kepada si penonton lukisannya.
Karakteristik utama lukisan impresionisme adalah kuatnya goresan kuas, warna-warna cerah (bahkan banyak sekali pelukis impresionis yang mengharamkan warna hitam karena dianggap bukan bagian dari cahaya), komposisi terbuka, penekanan pada kualitas pencahayaan, subjek-subjek lukisan yang tidak terlalu menonjol, dan sudut pandang yang tidak biasa.
Pengarang impresionistis melahirkan kembali kesan atas sesuatu yang dilihatnya. Kesan itu biasanya kesan sepintas lalu. Pengarang takkan melukiskannya sampai mendetail, sampai kepada yang sekecil-kecilnya seperti dalam aliran realisme atau naturalisme, supaya ketegasan, spontanitas penglihatan, dan perasaan mula pertama tetap tak hilang. Lukisan seperti itulah lukisan beraliran impresionisme.
Ekspresionisme adalah suatu aliran dalam seni rupa yang melukiskan suasana kesedihan, kekerasan, kebahagiaan, atau keceriaan dalam ungkapan rupa yang emosional dan ekspresif. Salah seorang pelukis yang beraliran ekspresionisme adalah Vincent van Gogh (1853-1890). Lukisan lukisannya penuh dengan ekpresi gejolak jiwa yang diakibatkan oleh penderitaan dan kegagalan dalam hidup[3]
Aliran ekspresionisme lebih terbatas pada beberapa tokoh saja. Karya mereka memang tidak terlepas sama sekali dari apa yang mereka lihat dan apa yang kiranya telah menjadi alasan mengapa mau melukis. Hasrat untuk mengucapkan dan seakan-akan mewujudkan apa yang ada dalam pengalaman dan hati mereka (“exspression”) menandai dan mewarnai karya seni yang bersangkutan.

v  Estetika Modern
Dalam pembicaraan sebelumnya kita sudah menyinggung beberapa aliran yang berkembang sejak abad ke-19. terutama impresionisme dan ekspresionisme yang masih bertahan agak lama, dan juga mengakibatkan munculnya beberapa aliran lain.
1.             Simbolisme dan Jugendstil
Simbolisme merupakan kelanjutan impresionisme dan ekspresionisme. Bila ekspresionisme masih bertitik pangkal pada apa yang telah dan sedang diamati seniman agar unsur-unsur  tertentu yang ia alami diungkapkannya dengan tekanan khusus. Tetapi dalam hasil karya para seniman yang digolongkan sebagai penganut simbolisme sumbangan seniman sendiri menjadi sedemikian besar sehingga “obyek” lukisan atau lain karya seninya hanya samar-samar saja memperlihatkan “obyek” luar yang “mau digambarkan”. “obyek luar” itu hanya menjadi alasan saja untuk menggambarkan inti ilham seniman; dan hasil karyanya menjadi lambang (“symbol”) dari apa yang ada dalam bayangannya.
Agak dekat dengan simbolisme muncul apa yang disebut Jugendstil. Namanya berasal dari suatu majalah Jerman yang berjudul “Jugend” (=kaum muda). Meneruskan unsur-unsur dekorasi yang terdapat dalam hasil karya simbolisme. Menekankan pentingnya garis-garis dalam lukisan dan gambaran, sedapat mungkin berlingkaran dan bergelombang ibarat rambut panjang. Itulah aliran “Jugendstil” dengan garis-garis dekoratif berlingkaran dan bergelombang simbolis.
2.             Fauvisme dan Surealisme
Aliran yang dekat dengan ekspresionisme yang disebut dengan "fauvisme" (karena oleh seorang kritikus seniman bersangkutan dianggap sebagai "fauve" = binatang liar/buas ), Aliran fauvisme mempunyai unsur yang dulu sudah muncul dalam sejarah kesenian, yaitu bahwa  "bahan luar" itu diubah (harus dikatakan : berubah) dalam penggambarannya sambil mengungkapkan sesuatu. Aliran ini menghargai ekspresi dalam menangkap suasana yang hendak dilukis. Tidak seperti karya impresionisme, pelukis fauvis berpendapat bahwa harmoni warna yang tidak terpaut dengan kenyataan di alam justru akan lebih memperlihatkan hubungan pribadi seniman dengan alam tersebut.[4]
Segala hal yang berhubungan dengan pengamatan secara objektif dan realistis, seperti yang terjadi dalam lukisan naturalis, digantikan oleh pemahaman secara emosional dan imajinatif. Sebagai hasilnya warna dan konsep ruang akan terasa bernuansa puitis. Warna-warna yang dipakai jelas tidak lagi disesuaikan dengan warna di lapangan, tetapi mengikuti keinginan pribadi pelukis.
Pelukis fauvis menyerukan pemberontakan terhadap kemapanan seni lukis yang telah lama terbantu oleh objektivitas ilmu pengetahuan seperti yang terjadi dalam aliran impresionisme, meskipun ilmu-ilmu dari pelukis terdahulu yang mereka tentang tetap dipakai sebagai dasar dalam melukis. Hal ini terutama terjadi pada masa awal populernya aliran ini pada periode 1904 hingga 1907.
Selangkah lebih maju dilakukan oleh aliran surealisme, yang titik pangkal dan "bahan"nya ialah dunia bayangan dan mimpi. Tentu saja ada hubungan dengan psikoanalisis Sigmound Freud dan minatnya akan yang bawah sadar. Dapat dikatakan bahwa aliran ini pada permulaan masa modern sudah muncul dalam karya Hieronymus Bosc (1450-1516) dengan dunia mimi yang membingungkan orang. Surealisme berkembang antara dua perang dunia, yang memberikan kesan bahwa tidak ada lagi pegangan bagi manusia, semua yang yang ada dan dilukiskan sehingga menimbulkan anggapan bahwa tidak ada sesuatu yang masuk akal. Pelukis aliran ini berusaha untuk mengabaikan bentuk secara keseluruhan kemudian mengolah setiap bagian tertentu dari objek untuk menghasilkan sensasi tertentu yang bisa dirasakan manusia tanpa harus mengerti bentuk aslinya.
3.             Kubisme
Kubisme adalah sebuah gerakan modern seni rupa pada awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Picasso (1881-1973) dan George Braque (1882-1963). Aliran ini bermula dari imresionisme yang berupaya mencari dan mengungkapkan dalam karya seni sejumlah bentuk-bentuk dasar kenyataan yang diamati dan dialami manusia sesuai cita-cita imresionisme. Tetapi dengan tambahan susunan (contruction) baru dengan memakai bahan dasar tadi itulah merupakan unsur ekspresionisme yang ikut mempengaruhi kubisme.[5]
Kubisme muncul setelah Picasso dan Braque menggali sekaligus terpengaruh bentuk kesenian primitif, seperti patung suku bangsa Liberia, ukiran timbul (basrelief) bangsa Mesir, dan topeng-topeng suku Afrika. Juga pengaruh lukisan Paul Cezanne, terutama karya still life dan pemandangan, yang mengenalkan bentuk geometri baru dengan mematahkan perspektif zaman Renaisans. Ini membekas pada keduanya sehingga meneteskan aliran baru.
Istilah "Kubis" itu sendiri, tercetus berkat pengamatan beberapa kritikus. Louis Vauxelles (kritikus Prancis) setelah melihat sebuah karya Braque di Salon des Independants, berkomenmtar bahwa karya Braque sebagai reduces everything to little cubes (menempatkan segala sesuatunya pada bentuk kubus-kubus kecil. Gil Blas menyebutkan lukisan Braque sebagai bizzarries cubiques (kubus ajaib). Sementara itu, Henri Matisse menyebutnya sebagai susunan petits cubes (kubus kecil). Maka untuk selanjutnya dipakai istilah Kubisme untuk memberi ciri dari aliran seperti karya-karya tersebut.
Perkembangan awal
Dalam tahap perkembangan awal, Kubisme mengalami fase Analitis yang dilanjutkan pada fase Sintetis. Pada 1908-1909 Kubisme segera mengarah lebih kompleks dalam corak yang kemudian lebih sistematis berkisar antara tahun 1910-1912. Fase awal ini sering diberi istilah Kubisme Analitis karena objek lukisan harus dianalisis. Semua elemen lukisan harus dipecah-pecah terdiri atas fase-fasenya atau dalam bentuk kubus.
Objek lukisan kadang-kadang setengah tampak digambar dari depan persis, sedangkan setengahnya lagi dilihat dari belakang atau samping. Wajah manusia atau kepala binatang yang diekspos sedemikian rupa, sepintas terlihat dari samping dengan mata yang seharusnya tampak dari depan.
Pada fase Kubisme Analitis ini, para perupa sebenarnya telah membuat pernyataan dimensi keempat dalam lukisan, yaitu ruang dan waktu karena pola perspektif lama telah ditinggalkan.
Bila pada periode analitis Braque maupun Picasso masih terbelenggu dalam kreativitas yang terbatas, berbeda pada fase Kubisme Sintetis. Kaum Kubis tidak lagi terpaku pada tiga warna pokok dalam goresan-goresannya. Tema karya-karya mereka pun lebih variatif. Dengan keberanian meninggalkan sudut pandang yang menjadi ciri khasnya untuk beranjak ke tingkat inovatif berikutnya.
Perkembangan karya kaum Kubis selanjutnya adalah dengan perhatian mereka terhadap realitas. Dengan memasukkan guntingan-guntingan kata atau kalimat yang diambil dari surat kabar kemudian direkatkan pada kanvas sehingga membentuk satu komposisi geometris. Eksperimen tempelan seperti ini lazim disebut teknik kolase.
4.              Seni Abstrak
Seni ini menampilkan unsur-unsur seni rupa yang disusun tidak terbatas pada bentuk-bentuk yang ada di alam. Garis, bentuk, dan warna ditampilkan tanpa mengindahkan bentuk asli di alam. Seni Abstrak ini pada dasarnya berusaha memurnikan karya seni, tanpa terikat dengan wujud di alam. Selain itu hasil karya seni hanya dapat berarti sebagai karya seni bagi orang yang melihat, mendengar atau membacanya sesuai dengan kemauan dan selera setiap orang.
Dalam aliran ini terkenal dua pelukis Rusia,yang pertama adalah Wassili Kandinski ( 1886-1945) yang bermaksud menggambarkan apa yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kenyataan luar, tetapi karyanya dengan segala kekuatan ekspresinya masih memngingatkan penontonnya kepada bentuk-bentuk purba dari alam semesta, organisme-organisme paling sederhana (amoeba, radiolira,kuda laut dsb). Sedangkan Kasimir Malewijts (1878-1935) lebih konsekuen lagi dan menggambarkan macam-macam segi-empat, kadang-kadang segitiga, lingkaran dan trapesium, semuanya berwarna-warni, sekali-kali dengan adanya sindiran akan adanya sosok manusia.[6]
Seorang pelukis Belanda Piet Mondarin (1883-1944) termasuk aliran yang sama, sampai pada suatu gaya lukis yang diberi nama "neo-plastisisme". Lukisan terdiri atas sejumlah garis datar ataupun garis tegak lurus. Beberapa petak dengan demikian muncul, diisi dengan warna yang direncanakan sedemikian hingga sehingga keseluruhannya menjadi seimbang dan harmonis.



DAFTAR PUSTAKA
Kartika, Dharsono Sony dan Nanang Ganda Prawira. 2004.  Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains
Sutrisno, Mudji dan Christ Verhaak. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius
www.google.co.id



[1] Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika, (Bandung: Rekayasa Sains, 2004), cet. I, hlm. 65
[2] Mudji Sutrisno dan Christ Verhaak, Estetika Filsafat Keindahan, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 51-52
[3] www.google.co.id/modul-modul pengertian seni rupa
[4] Mudji Sutrisno dan Christ Verhaak, Ibid., hlm 56
[5]  Ibid. Hal. 58
[6]  Ibid. Hal. 60

KONSEP TASYBÎH DAN TANZÎH MENURUT IBN ‘ARABÎ

KONSEP TASYBÎH DAN TANZÎH MENURUT IBN ‘ARABÎ



Pendahuluan

Nama Ibn ‘Arabî di dunia falsafah tampaknya sudah tak asing lagi. Pasalnya, Ibn ‘Arabî adalah orang yang dianggap paling kontroversial dan sering membuat orang kesulitan untuk bisa memahami pemikirannya. Pemikiran beliau yang masih menarik untuk dibahas sampai sekarang adalah mengenai wahdah al-wujûd (kesatuan wujud), yang mana mampu menghipnotis dan membius para failasuf terkemudian (baik dalam pengertian luas dan sempit) untuk bisa memahami pemikiran beliau sebenarnya.
Pembahasan mengenai Wahdah al-wujûd yang dikemukakan oleh Ibn ‘Arabî sebenarnya tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan konsep tasybîh dan tanzîh, karena konsep ini berkaitan erat dengan konsep tasybîh (keserupaan) dan tanzîh (ketakserupaan). Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis hanya akan membahas konsep tasybîh dan tanzîh menurut Ibn ‘Arabî.

Pembahasan
            Penjelasan mengenai dualitas yaitu haqq dan khalq dalam pandangan Ibn ‘Arabî bukanlah dualitas riel dari wujud-wujud. Disebut haqq, yakni bila dipandang sebagai esensi dari semua fenomena; dan disebut khalq, yakni bila dipandang sebagai fenomena yang memanifestasikan esensi itu. Haqq dan khalq, realitas dan penampilan, atau yang satu dan yang banyak tidak lain hanyalah sebutan-sebutan untuk dua aspek dari satu hakikat, yakni Tuhan. Kedua aspek ini mucul hanyalah dari tanggapan akal semata, sedangkan pada hakikatnya segalanya itu hanyalah satu.[1]
Mengenai dualitas di atas (haqq dan khalq) menurut Ibn ‘Arabî bisa dinamakan dengan pembedaan atribut-atribut. Pembedaan atribut-atribut ini diidentifikasikan di dalam falsafahnya yang kemudian dinamakan transendensi dan imanensi. Dua istilah Arab (tasybîh dan tanzîh) telah lama digunakan oleh teologian-teologian Muslim untuk mengartikan keduanya sebagai penyamaan (komparabilitas) dan pembedaan (inkomparabilitas) Tuhan terhadap wujud-wujud ciptaan dalam kaitannya dengan doktrin-doktrin anthropomorfisme dan korporealisme, dan perkara ini nampaknya telah mengalami modifikasi besar di tangan Ibn ‘Arabî, yang menggunakan keduanya dalam pengertian yang lebih falsafi.[2]
Polemik mengenai konsep tasybîh dan tanzîh memang sangat menarik untuk dibahas. Konsep ini bukan hanya diminati oleh para pemikir Islam saja, tetapi juga diminati oleh para pemikir Barat. Dalam bahasa teologis, Ibn ‘Arabî menggambarkan visi yang dicapai melalui kesempurnaan sebagai paduan seimbang antara penegasan ketakserupaan (tanzîh) Tuhan dan penegasan keserupaan (tasybîh)-Nya. Para mutakallim memandang tanzîh sebagai pendapat yang benar dan mengutuk tasybîh. Sedangkan Ibn ‘Arabî memegang tasybîh sepanjang dipertahankan secara seimbang dengan tanzîh. Tidak ada istilah yang dapat digunakan untuk menyebut Tuhan dalam pengertian yang eksklusif.[3]
Dalam pengertian ini seseorang bisa menjadi anthropomorfis atau korporealis tanpa harus menjadi seorang pantheis, yakni Tuhan itu diasumsikan memunyai kualitas-kualitas dan atribut-atribut yang sebanding dengan manusia dan objek-objek fisik, namun tetap berbeda dilihat dengan cara apapun tidak identik dengan manusia atau objek-objek fisik lainnya atau dengan seluruh alam.
Imanensi dan transendensi (tasybîh dan tanzîh) harus digunakan dalam pengertian yang berbeda. Pernyataan bahwa Tuhan “mendengar” atau “melihat” atau punya “tangan”, dan sebagainya, menurut anthropomorphis, sebenarnya bertolak belakang dengan pandangan Ibn ‘Arabî, karena pernyataan seperti itu tidak dimaksudkan sebagai Tuhan memiliki “alat pendengar” atau “alat penglihat” atau “tangan” dan sebagainya, melainkan Tuhan itu imanen dalam semua pendengaran, penglihatan, atau memunyai tangan.
Tuhan mendengar dan melihat dalam setiap wujud yang dapat dilihat dan didengar, dan itu merupakan imanensi-Nya (tasybîh). Sebaliknya, esensi-Nya tidak terbatas kepada satu wujud atau satu kelompok wujud yang mendengar dan melihat saja, tapi dimanifestasikan dalam semua wujud. Oleh karena itu, Tuhan adalah transenden karena Ia ada di atas semua limitasi dan individualisasi.
Maka dari itu, penting untuk dipahami bagaimana upaya Ibn ‘Arabî mengaitkan tasybîh dan tanzîh sebagai dua kategori yang luas akan sifat-sifat Ilahi sehingga sering dibahas para pemikir Muslim. Sifat-sifat yang dimaksud adalah Kasih Sayang (Rahmah) dan Kemurkaan (Ghadhab), atau Karunia (Fadhl) dan Adil (‘Adl), atau Keindahan (Jamâl) dan Keagungan (Jalâl), atau Kelembutan (Luthf) dan Mahakeras (Qahr). Al-Quran dan hadis mempertautkan Sifat-Sifat Indah dan karunia dengan kedekatan Tuhan pada makhluk-Nya, sedangkan mereka mengaitkan Sifat-Sifat keras dan agung dengan kejauhan-Nya dari makhluk-Nya.[4]
Dengan sedikit penjelasan di atas, sebenarnya bisa dianalisis bahwa sebenarnya Ibn ‘Arabî dengan tegas menolak anthropomorfisme dan korporealisme, karena dalam bentuk apapun Tuhan telah menggambarkan diri-Nya sendiri di dalam al-Qur’an, di mana kedua aspek transendensi dan imanensi harus diperhatikan. Al-Qur’an mengatakan bahwa Tuhan punya tangan, kaki, dan sebagainya, yang mana menurut Ibn ‘Arabî ini memang benar dan bukan dalam pengertian anthropomorfis bahwa ia punya tangan dan kaki yang sebanding dengan yang dipunyai manusia, tapi dalam pengertian bahwa Ia itu pada hakikatnya memunyai tangan-tangan dan kaki-kaki dari semua yang punya tangan-tangan dan kaki-kaki.[5] Manifestasi dalam bentuk-bentuk yang terbatas seperti tangan-tangan, kaki-kaki, dan sebagainya, merupakan tasybîh-Nya, sedangkan wujud-Nya di dalam diri-Nya sendiri di atas limitasi-limitasi merupakan tanzîh-Nya yang seperti itu.
Jadi, Tuhan – dari segi esensi-Nya – tetap transenden. Yang imanen hanya – dari segi – nama-nama (asma) dan sifat-sifat-Nya. Ini berbeda dengan panteisme murni yang memandang Tuhan imanen dalam segala sesuatu dan manunggal dengannya, sehingga segala sesuatu bersifat ilahi.[6] Secara umum bahwa Tuhan dipahami dalam hubungannya dengan tanzîh sejauh Dia tidak bisa diakses, tetapi Dia dipahami hubungannya dengan tasybîh sejauh Dia “lebih dekat dengan manusia daripada urat leher” (QS. Qâf [50]: 16). Ketika al-Qur’an menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan kedua Tangan-Nya (QS. Shâd [38]: 75), Ibn ‘Arabî memahami maknanya sebagai berikut: Dia menggunakan Sifat-sifat tasybîh maupun tanzîh untuk mewujudkan citra diri-Nya. dari sini, Tuhan hadir bersama makhluk-makhluk-Nya sekaligus gaib bagi mereka.
Dengan menegaskan tanzîh, manusia mengakui ke-yang-lainan (ghairiyyah) dari setiap sesuatu; dan dengan menegaskan tasybîh, manusia mengakui “kebersamaan” Tuhan (ma’iyyah, suatu istilah yang dipinjam dari ayat “Tuhan bersama kamu di mana pun kamu berada” (QS. Al-Hadîd [57]: 4). Memusatkan diri pada tanzîh ataupun tasybîh dan menghilangkan penekanan pada perspektif lainnya berarti menyelewengkan hubungan aktual antara Tuhan dan dunia. Pengetahuan hakiki bergantung pada penglihatan segala sesuatu dengan mata imajinasi maupun mata akal. [7]
Jika dikaji dalam pengertian yang lebih luas, pandangan Ibn ‘Arabî terhadap tasybîh dan tanzîh memperlihatkan proyeknya untuk mengintegrasikan seluruh ilmu Islam di bawah naungan tauhîd. Namun, perspektif sufi, yang umumnya menekankan tasybîh dan lebih menandaskan Rahmat Tuhan dan kedekatan-Nya ketimbang kemarahan dan kejauhan-Nya, dinilai lebih unggul dan lebih baik. Walaupun Ibn ‘Arabî juga menyatakan bahwa tiap sesuatu dan semua sesuatu adalah Tuhan (aspek imanen) namun ia berhati-hati untuk tidak menyatakan kebalikannya yakni bahwa Tuhan adalah semua benda dalam arti menjadi kesatuan eksistensi. Tuhan adalah kesatuan dibalik multiplisitas, dan realitas dibalik pemunculan (appearance) (aspek transenden).





DAFTAR PUSTAKA
Afifi, A.E. Filsafat Mistis Ibn ‘Arabî. 1995. Ciputat: PT. Gaya Media Pratama
Ali, Yunasril. 1997. Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabî oleh al-Jîlî. Jakarta: Paramadina
Hirtenstein, Stephen. 2001. Dari Keragaman Ke Kesatuan Wujud: Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Nasr, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman. 2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Bandung: Mizan
Noer, Kautsar Azhari. 1995.  Ibn al-‘Arabî: Wahdat-u ‘l-Wujûd dalam Perdebatan. Jakarta: Paramadina


[1] Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabî oleh al-Jîlî, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, hlm. 50-51
[2] A.E. Afifi, Filsafat Mistis Ibn ‘Arabî, (Ciputat: PT. Gaya Media Pratama, 1995), cet. II, hlm. 37
[3]Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2003), terj.William C. Chittick, cet. I, hlm. 623
[4] Ibid., hlm. 623
[5] Fut. I, hlm. 122-123. Ibn ‘Arabî menginterpretasikan semua bagian anthropomorfis dari Qur’an dengan cara seperti ini : lihat misalnya Fus. hlm. 77-78
[6] Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabî: Wahdat-u ‘l-Wujûd dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 159
[7] Seyyed Hossein Nasr, op. cit., hlm. 624-625

Sumber dan Kriteria Kebenaran Agama

SUMBER DAN KRITERIA KEBENARAN AGAMA

PENDAHULUAN
Berbagai ajaran agama dalam kualitas  yang berbeda-beda telah muncul di tengah masyarakat manusia. Menurut pernyataan sejarah, agama senantiasa menjadi unsur mutlak bagi kehidupan, baik sebagai motivasi maupun pembentuk watak atau akhlak manusia, yang tidak dapat diingkari oleh siapa pun.
Dengan demikian, meskipun masyarakat kita adalah pluralitas dalam kebudayaan dan agama, tetapi akan berkembang secara harmonis dalam pola hidup yang bhineka-tunggal-ika (berbeda-beda tetapi tetap satu). Kesadaran terhadap kenyataan adanya masyarakat yang pluralitas itu akan menjadi pendorong mengapa masing-masing orang perlu mempelajari ajaran agama-agama lain yang hidup berkembang dalam masyarakat, bahkan agama yang pernah hidup di dalam masyarakat manusia perlu dipelajari sebagai bahan perbandingan.[1]
Agama selain dipahami sebagai sebuah institusi, agama juga bisa memberikan nilai dan arti bagi hidup manusia. Meskipun di lain pihak, agama memang sering menjadi problem dalam sejarah manusia. Tetapi bagi Kimball, problem atau tidaknya suatu agama tidak bergantung pada agamaitu sendiri, tetapi agama dalam kaitannya dengan hidup manusia yang nyata. Dengan kata lain, manusialah patokan, yang menentukan apakah agama itu problem atau bukan.
Oleh karena itu, untuk mengetahui dan agar seseorang tidak salah ataupun menyesal dengan agama yang dianutnya sekarang, perlu diketahui, ditelusuri, diteliti, dan dikaji mengenai sumber dan kriteria suatu agama apakah sudah sesuai dengan apa yang kita inginkan atau tidak. Untuk lebih jelasnya, mari simak penjelasan mengenai sumber dan kriteria kebenaran agama berikut ini.



PEMBAHASAN
1.             Sumber Kebenaran Agama
Sumber kebanaran agama sebenarnya bukan melulu berdasarkan wahyu. Sebagai halnya dengan pengetahuan dalam lapangan ilmiah, pengetahuan agama juga diperoleh dengan mempergunakan bukti-bukti historis, argument-argumen rasional dan pengalaman pribadi.
a.              Bukti-bukti historis
Dalam lapangan ilmu pengetahuan, pengetahuan tentang adanya Aristoteles, Plato dan sebagainya dan pengetahuan tentang falsafat mereka masing-masing diperoleh dari buku-buku yang menurut mereka adalah tulisan mereka. Apakah buktinya bahwa orang yang bernama Aristoteles atau Plato betul dan benar ada di abad ke-5 dan ke-4 sebelum Nabi Isa? Dan apa buktinya bahwa buku-buku yang disebut itu adalah karangan mereka? Karena ada tradisi turun-temurun mulai dari sesudah matinya kedua filosof itu sampai ke masa kita ini yang mengatakan demikian dan belum ada suara yang menentang kebenaran tradisi ini. Demikian pula dalam agama. Pengetahuan tentang Budha, tentang nabi-nabi seperti Musa, Isa dan Muhammad saw. Diperoleh dari tradisi. Tradisi ini diperkuat oleh bukti-bukti historis. Bukti-bukti historis yang dimaksud umpamanya keterangan-keterangan penulis sejarah yang diakui keahlian dan dipercayai kebenaran uraiannya tentang pribadi-pribadi tersebut dan sejarah itu ditulis di zaman mereka masih hidup atau tidak lama sesudah zaman mereka.
Kalau ada bukti-bukti historis, adanya figur yang bersangkutan diragukan. Mengenai Nabi Muhammad umpamanya, belum ada kedengaran suara yang mengatakan bahwa wujud beliau dalam sejarah diragukan. Sejarah Nabi Muhammad jelas. Buku suci yang ditinggalkannya ada, dan kata-katanya dicatat (hadis yang rentan rawinya dengan jelas disebut satu per satu). Sebaliknya mengenai sebagian nabi-nabi lain, telah kedengaran suara-suara yang bertanya “Betulkah mereka mempunyai wujud dalam sejarah? Tidakkah mereka berwujud dalam khayal?” Tuduhan-tuduhan ini dilemparkan orang-orang yang tidak percaya, karena sejarah mereka tidak jelas dan kata-kata yang disebut mereka ucapkan, juga tidak jelas berasal dari mereka. Kemudian ahli-ahli sejarah di zaman mereka atau di zaman yang dekat dengan zaman mereka tidak pula ada yang menyebut-nyebut nama mereka. Hal-hal serupa ini dalam lapangan ilmiah menimbulkan keraguan.
Kembali ke pokok persoalan kalau ada tuduhan bahwa pengetahuan agama berdasar pada tradisi, orang bisa menjawab bahwa dalam lapangan ilmiah juga ada pengetahuan yang berdasar pada tradisi, terutama sejarah, falsafat, dan sebagainya.
b.             Argumen-argumen rasional
Juga agama mempergunakan argument-argumen rasional dalam memperoleh pengetahuan-pengetahuan keagamaan, terutama tentang wujud Tuhan, hidup sesudah hidup sekarang, kekekalan hidup manusia, dan sebagainya. Tidak benar tuduhan yang mengatakan bahwa pengetahuan keagamaan hanya berdasar pada wahyu dan tradisi.
c.              Pengalaman pribadi
Kalau ilmu pengetahuan mempergunakan eksperimen, juga dalam lapangan agama terdapat eksperimen yang merupakan pengalaman pribadi, terutama dalam lapangan pengetahuan tentang adanya Tuhan. Pengalaman ini terutama terdapat dalam kalangan mistik yang dengan latihan tertentu dapat mempertajamkan kekuatan rohani mereka sehingga mereka dapat melihat Tuhan dengan hati nurani mereka, dan dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Pengalaman serupa ini bukan hanya dialami oleh satu dua orang, tetapi oleh sejumlah orang yang menyebabkan kita tidak mudah dapat menolak kebenaran pengalaman mereka itu. Pengalaman-pengalaman serupa ini bukan terdapat dalam satu agama saja, tetapi dalam tiap-tiap agama besar di alam ini. Kalau kita kembali ke lapangan ilmu pengetahuan, yang mengadakan eksperimen atau pengalaman di sana bukan semua orang tetapi hanya sejumlah orang ahli-ahli, dan pengalaman mereka ini mereka terangkan dalam karangan-karangan dan orang lain percaya kepada keterangan-keterangan mereka selama keterangan-keterangan itu tidak bertentangan dengan logika. Dalam bidang agama demikian pula. Kaum mistik menerangkan pengalaman-pengalaman mereka dalam tulisan-tulisan dan karena mereka adalah orang-orang yang ahli dalam lapangan ini, apa pula salahnya kalau orang percaya akan kebenaran pengalaman-pengalaman mereka, apalagi pengalaman-pengalaman serupa itu bukanlah mustahil menurut logika. (Tidak mustahil bagi orang yang percaya pada adanya dunia spiritual di samping dunia materiil. Orang yang menganut paham materialisme sebaliknya memandang hal di atas sebagai suatu yang mustahil dan tidak bisa terjadi).[2]


2.             Kriteria Kebenaran Agama
Kriteria kebenaran agama bisa dilihat dari berbagai aspek, diantaranya:
a.              Ajaran yang rasional: karena pencipta kita memberikan pertimbangan dan intelektual kepada kita, inilah kewajiban kita menggunakannya untuk membedakan kebenaran dari kebohongan. Sungguh, wahyu itu dari Allah, pasti rasional dan dapat dirundingkan tanpa ada pikiran yang memihak.
b.             Kesempurnaan: karena pencipta kita itu maha sempurna, wahyunya pasti sempurna dan akurat, bebas dari kesalahan, kelalaian, penambahan /interpolasi dan versi yang bermacam-macam. Pasti bebas dari kontradiksi dan penyampaiannya.
c.              Tidak ada cerita yang dibuat-buat/tahayyul: wahyu yang benar bebas dari cerita yang dibuat-buat atau tahayyul yang menurunkan mertabat sang pencipta atau diri manusia.
d.             Ilmiah: karena sang pencipta kita adalah pencipta seluruh ilmu pengetahuan, wahyu yang benar pasti ilmiah dan dapat bertahan terhadap tantangan ilmu pengetahuan disetiap saat.
e.              Ramalan yang berdasarkan fakta: karena pencipta kita lebih tahu masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang, maka ramalannya dalam wahyunya dimasukkan sebagai ramalan.
f.              Tidak dapat ditiru manusia: wahyu yang benar dalah sempurna dan tidak dapat ditiru manusia. Wahyu Tuhan yang benar adalah keajaiban yang hidup, sebuah kitab yang membuka tantangan manusia untuk melihat dan membuktikan kepada diri mereka sendiri keotentikannya atau keasliannya.

Teori-Teori kebenaran
Untuk menentukan kepercayaan dari sesuatu yang dianggap benar, para filosof bersandar kepada 3 cara untuk menguji kebenaran, yaitu koresponden (yakni persamaan dengan fakta), teori koherensi atau konsistensi, dan teori pragmatis.
Teori Korespondensi
Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut.[3]
Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah.
Teori Koherensi
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar, artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika.
Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Seorang sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu ide yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya  dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar  dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut. Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu.
Teori Pragmatik
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis (Jujun, 1990:57)
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility),kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat  yang memuaskan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan manusia.
Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atu lebih dati tiga pendekatan (1) yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, (2) yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis. Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.
Teori Hudhuri
Mehdi Ha’iri Yazdi, profesor filsafat di Universitas Teheran, menambahkan bahwa ukuran kebenaran itu tidak hanya koherensi, korespondensi, dan pragmatisme, tetapi ada tambahannya yaitu ilmu hudhuri/iluminasi. Ilmu hudhuri, menurut Yazdi, adalah pengetahuan dengan kehadiran karena ia ditandai oleh keadaan neotic dan memiliki objek imanen yang menjadikannya pengetahuan swaobjek. Ilmu hudhuri ini berbeda dengan korespondensi karena kalau dalam korespondensi membutuhkan objek di luar diri, seperti meja dan kursi. Sedangkan, ilmu hudhuri tidak memiliki objek di luar dirinya, tetapi objek sendiri itu ada, yaitu objek subjektif yang ada pada dirinya.
Pengetahuan dengan kehadiran ini, menurut Ha’iri Yazdi, adalah jenis pengetahuan yang semua hubungannya berada dalam kerangka dirinya sendiri, sehingga seluruh anatomi gagasan tersebut bisa dipandang benar tanpa membutuhkan hubungan eksterior. Artinya, hubungan mengetahui, dalam bentuk pengetahuan tersebut adalah hubungan swaobjek tanpa campur tangan  koneksi dengan objek eksternal. Hubungan pengetahuan dengan kehadiran dan pengetahuan dengan korespondensi harus dipandang sebagai hubungan sebab-akibat dalam pengertian pencerahan dan emanasi. Hubungan  jelas ini tidak lebih daripada hubungan sebab-akibat efisien yang khas. Tetapi, untuk membedakan kausasi intelektual dari kausasi fisik, filsafat iluminasi menyebutnya dengan relasi iluminatif.[4]

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, HM. 2002. Menguak Misteri Ajaran Agama-agamaa Besar. Jakarta: PT. Golden Trayon Press
Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia. Jakarta: Rajawali Pers
Nasution, Harun. 2003. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang
Rasjidi, H.M., 1994. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang


[1] HM. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-agamaa Besar, (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 2002), cet. I, h. xiii
[2] Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), cet. IX, h. 12-14
[3] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Sinar Harapan, 2003), cet. XVI, h. 57

[4] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), cet. 2, h. 35-36