SUMBER DAN KRITERIA KEBENARAN AGAMA
PENDAHULUAN
Berbagai ajaran agama dalam kualitas yang berbeda-beda telah muncul di tengah masyarakat manusia. Menurut pernyataan sejarah, agama senantiasa menjadi unsur mutlak bagi kehidupan, baik sebagai motivasi maupun pembentuk watak atau akhlak manusia, yang tidak dapat diingkari oleh siapa pun.
Dengan demikian, meskipun masyarakat kita adalah pluralitas dalam kebudayaan dan agama, tetapi akan berkembang secara harmonis dalam pola hidup yang bhineka-tunggal-ika (berbeda-beda tetapi tetap satu). Kesadaran terhadap kenyataan adanya masyarakat yang pluralitas itu akan menjadi pendorong mengapa masing-masing orang perlu mempelajari ajaran agama-agama lain yang hidup berkembang dalam masyarakat, bahkan agama yang pernah hidup di dalam masyarakat manusia perlu dipelajari sebagai bahan perbandingan. Agama selain dipahami sebagai sebuah institusi, agama juga bisa memberikan nilai dan arti bagi hidup manusia. Meskipun di lain pihak, agama memang sering menjadi problem dalam sejarah manusia. Tetapi bagi Kimball, problem atau tidaknya suatu agama tidak bergantung pada agamaitu sendiri, tetapi agama dalam kaitannya dengan hidup manusia yang nyata. Dengan kata lain, manusialah patokan, yang menentukan apakah agama itu problem atau bukan.
Oleh karena itu, untuk mengetahui dan agar seseorang tidak salah ataupun menyesal dengan agama yang dianutnya sekarang, perlu diketahui, ditelusuri, diteliti, dan dikaji mengenai sumber dan kriteria suatu agama apakah sudah sesuai dengan apa yang kita inginkan atau tidak. Untuk lebih jelasnya, mari simak penjelasan mengenai sumber dan kriteria kebenaran agama berikut ini.
PEMBAHASAN
1. Sumber Kebenaran Agama
Sumber kebanaran agama sebenarnya bukan melulu berdasarkan wahyu. Sebagai halnya dengan pengetahuan dalam lapangan ilmiah, pengetahuan agama juga diperoleh dengan mempergunakan bukti-bukti historis, argument-argumen rasional dan pengalaman pribadi.
a. Bukti-bukti historis
Dalam lapangan ilmu pengetahuan, pengetahuan tentang adanya Aristoteles, Plato dan sebagainya dan pengetahuan tentang falsafat mereka masing-masing diperoleh dari buku-buku yang menurut mereka adalah tulisan mereka. Apakah buktinya bahwa orang yang bernama Aristoteles atau Plato betul dan benar ada di abad ke-5 dan ke-4 sebelum Nabi Isa? Dan apa buktinya bahwa buku-buku yang disebut itu adalah karangan mereka? Karena ada tradisi turun-temurun mulai dari sesudah matinya kedua filosof itu sampai ke masa kita ini yang mengatakan demikian dan belum ada suara yang menentang kebenaran tradisi ini. Demikian pula dalam agama. Pengetahuan tentang Budha, tentang nabi-nabi seperti Musa, Isa dan Muhammad saw. Diperoleh dari tradisi. Tradisi ini diperkuat oleh bukti-bukti historis. Bukti-bukti historis yang dimaksud umpamanya keterangan-keterangan penulis sejarah yang diakui keahlian dan dipercayai kebenaran uraiannya tentang pribadi-pribadi tersebut dan sejarah itu ditulis di zaman mereka masih hidup atau tidak lama sesudah zaman mereka.
Kalau ada bukti-bukti historis, adanya figur yang bersangkutan diragukan. Mengenai Nabi Muhammad umpamanya, belum ada kedengaran suara yang mengatakan bahwa wujud beliau dalam sejarah diragukan. Sejarah Nabi Muhammad jelas. Buku suci yang ditinggalkannya ada, dan kata-katanya dicatat (hadis yang rentan rawinya dengan jelas disebut satu per satu). Sebaliknya mengenai sebagian nabi-nabi lain, telah kedengaran suara-suara yang bertanya “Betulkah mereka mempunyai wujud dalam sejarah? Tidakkah mereka berwujud dalam khayal?” Tuduhan-tuduhan ini dilemparkan orang-orang yang tidak percaya, karena sejarah mereka tidak jelas dan kata-kata yang disebut mereka ucapkan, juga tidak jelas berasal dari mereka. Kemudian ahli-ahli sejarah di zaman mereka atau di zaman yang dekat dengan zaman mereka tidak pula ada yang menyebut-nyebut nama mereka. Hal-hal serupa ini dalam lapangan ilmiah menimbulkan keraguan.
Kembali ke pokok persoalan kalau ada tuduhan bahwa pengetahuan agama berdasar pada tradisi, orang bisa menjawab bahwa dalam lapangan ilmiah juga ada pengetahuan yang berdasar pada tradisi, terutama sejarah, falsafat, dan sebagainya.
b. Argumen-argumen rasional
Juga agama mempergunakan argument-argumen rasional dalam memperoleh pengetahuan-pengetahuan keagamaan, terutama tentang wujud Tuhan, hidup sesudah hidup sekarang, kekekalan hidup manusia, dan sebagainya. Tidak benar tuduhan yang mengatakan bahwa pengetahuan keagamaan hanya berdasar pada wahyu dan tradisi.
c. Pengalaman pribadi
Kalau ilmu pengetahuan mempergunakan eksperimen, juga dalam lapangan agama terdapat eksperimen yang merupakan pengalaman pribadi, terutama dalam lapangan pengetahuan tentang adanya Tuhan. Pengalaman ini terutama terdapat dalam kalangan mistik yang dengan latihan tertentu dapat mempertajamkan kekuatan rohani mereka sehingga mereka dapat melihat Tuhan dengan hati nurani mereka, dan dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Pengalaman serupa ini bukan hanya dialami oleh satu dua orang, tetapi oleh sejumlah orang yang menyebabkan kita tidak mudah dapat menolak kebenaran pengalaman mereka itu. Pengalaman-pengalaman serupa ini bukan terdapat dalam satu agama saja, tetapi dalam tiap-tiap agama besar di alam ini. Kalau kita kembali ke lapangan ilmu pengetahuan, yang mengadakan eksperimen atau pengalaman di sana bukan semua orang tetapi hanya sejumlah orang ahli-ahli, dan pengalaman mereka ini mereka terangkan dalam karangan-karangan dan orang lain percaya kepada keterangan-keterangan mereka selama keterangan-keterangan itu tidak bertentangan dengan logika. Dalam bidang agama demikian pula. Kaum mistik menerangkan pengalaman-pengalaman mereka dalam tulisan-tulisan dan karena mereka adalah orang-orang yang ahli dalam lapangan ini, apa pula salahnya kalau orang percaya akan kebenaran pengalaman-pengalaman mereka, apalagi pengalaman-pengalaman serupa itu bukanlah mustahil menurut logika. (Tidak mustahil bagi orang yang percaya pada adanya dunia spiritual di samping dunia materiil. Orang yang menganut paham materialisme sebaliknya memandang hal di atas sebagai suatu yang mustahil dan tidak bisa terjadi).
2. Kriteria Kebenaran Agama
Kriteria kebenaran agama bisa dilihat dari berbagai aspek, diantaranya:
a. Ajaran yang rasional: karena pencipta kita memberikan pertimbangan dan intelektual kepada kita, inilah kewajiban kita menggunakannya untuk membedakan kebenaran dari kebohongan. Sungguh, wahyu itu dari Allah, pasti rasional dan dapat dirundingkan tanpa ada pikiran yang memihak.
b. Kesempurnaan: karena pencipta kita itu maha sempurna, wahyunya pasti sempurna dan akurat, bebas dari kesalahan, kelalaian, penambahan /interpolasi dan versi yang bermacam-macam. Pasti bebas dari kontradiksi dan penyampaiannya.
c. Tidak ada cerita yang dibuat-buat/tahayyul: wahyu yang benar bebas dari cerita yang dibuat-buat atau tahayyul yang menurunkan mertabat sang pencipta atau diri manusia.
d. Ilmiah: karena sang pencipta kita adalah pencipta seluruh ilmu pengetahuan, wahyu yang benar pasti ilmiah dan dapat bertahan terhadap tantangan ilmu pengetahuan disetiap saat.
e. Ramalan yang berdasarkan fakta: karena pencipta kita lebih tahu masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang, maka ramalannya dalam wahyunya dimasukkan sebagai ramalan.
f. Tidak dapat ditiru manusia: wahyu yang benar dalah sempurna dan tidak dapat ditiru manusia. Wahyu Tuhan yang benar adalah keajaiban yang hidup, sebuah kitab yang membuka tantangan manusia untuk melihat dan membuktikan kepada diri mereka sendiri keotentikannya atau keasliannya.
Teori-Teori kebenaran
Untuk menentukan kepercayaan dari sesuatu yang dianggap benar, para filosof bersandar kepada 3 cara untuk menguji kebenaran, yaitu koresponden (yakni persamaan dengan fakta), teori koherensi atau konsistensi, dan teori pragmatis.
Teori Korespondensi
Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah.
Teori Koherensi
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar, artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika.
Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Seorang sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu ide yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut. Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu.
Teori Pragmatik
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis (Jujun, 1990:57)
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility),kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan manusia.
Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atu lebih dati tiga pendekatan (1) yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, (2) yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis. Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.
Teori Hudhuri
Mehdi Ha’iri Yazdi, profesor filsafat di Universitas Teheran, menambahkan bahwa ukuran kebenaran itu tidak hanya koherensi, korespondensi, dan pragmatisme, tetapi ada tambahannya yaitu ilmu hudhuri/iluminasi. Ilmu hudhuri, menurut Yazdi, adalah pengetahuan dengan kehadiran karena ia ditandai oleh keadaan neotic dan memiliki objek imanen yang menjadikannya pengetahuan swaobjek. Ilmu hudhuri ini berbeda dengan korespondensi karena kalau dalam korespondensi membutuhkan objek di luar diri, seperti meja dan kursi. Sedangkan, ilmu hudhuri tidak memiliki objek di luar dirinya, tetapi objek sendiri itu ada, yaitu objek subjektif yang ada pada dirinya.
Pengetahuan dengan kehadiran ini, menurut Ha’iri Yazdi, adalah jenis pengetahuan yang semua hubungannya berada dalam kerangka dirinya sendiri, sehingga seluruh anatomi gagasan tersebut bisa dipandang benar tanpa membutuhkan hubungan eksterior. Artinya, hubungan mengetahui, dalam bentuk pengetahuan tersebut adalah hubungan swaobjek tanpa campur tangan koneksi dengan objek eksternal. Hubungan pengetahuan dengan kehadiran dan pengetahuan dengan korespondensi harus dipandang sebagai hubungan sebab-akibat dalam pengertian pencerahan dan emanasi. Hubungan jelas ini tidak lebih daripada hubungan sebab-akibat efisien yang khas. Tetapi, untuk membedakan kausasi intelektual dari kausasi fisik, filsafat iluminasi menyebutnya dengan relasi iluminatif.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, HM. 2002. Menguak Misteri Ajaran Agama-agamaa Besar. Jakarta: PT. Golden Trayon Press
Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia. Jakarta: Rajawali Pers
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), cet. 2, h. 35-36